"SURGA KECIL ITU SAAT KAMU DAN AKU MENJADI QITA"

Tuesday, 5 August 2014

SOSIOLOGI POLITIK (DINAMIKA PILKADES DI ERA OTONOMI DAERAH/DESA)

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Lahirnya gerakan reformasi pada tahun 19998, membawa dampak yang sangat luas dalam tata kehidupan dan penyelenggara pemerintah yang ada. Di era Orde Baru, penyelenggara pemerintah berjalan hanya semata-mata mengikuti  kehendak penguasa dengan menjadikan birokrasi kekuasaan di pusat –pusat pemerintah sebagai ujung tombak utama dengan mengabaikan berbagai potensi yang ada di masing – masing daerah. Dampak langsung dari penyelenggara pemerintah tersebut adalah semakin seragam potensi dan kepentingan daerah yang ada.
Dengan diberlakukannya undang – undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, maka berlakulah penyelenggara pemerintah desa yang di dasarkan pada Undang – undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa. Undang – undang tersebut tidak sesuai lagi dengan jiwa UUD 1945, khususnya yang menyangkut hak asal usul daerah yang bersifaat istimewa, sehingga perlu diganti. Adapun landasan pemikiran daru Undang – undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah keaanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan rumusan tersebut, Undang – undang Nomor 22 Tahun 1999 mengisyaratkan dan menghendaki bahwa pemerintahan desa (berdasarkan Undang – undang Nomor 5 Tahun 1979) diganti dengan pemerintah desa berdasarkan adat istiadat dan asal usul daerah yang bersifat istimewa. Namun demilian penyelenggara pemerintah desa tersebut tetap merupakan subsistem dari penyelenggara pemerintah, sehingga kepada desa diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan rumah tangga masyarakat.
Pemilihan kepala desa merupakan pesta demokrasi, dimana masyarakat desa dapat berpatisipasi dengan memberikan suara untuk memilih calon kepala desa yang bertanggung jawab dan dapat mengembangkan desa tersebut. Oleh karena itu, pemilihan kepala desa sangat penting, karena sangat mendukung penyelenggara pemerintahan desa.
Adanya peristiwa pemilihan kepala desa di suatu daerah tersebut menimbulkan kompetisi atau persaingan antara Calon Kepala Desa di daerah itu. Masing – masing calon kepala Desa akan saling menyebarkan pengaruhnya kepada warga desa tersebut untuk mendapatkan dukungan sehingga warga desa akan memilihnya menjadi Kepala Desanya.
Upaya untuk menarik simpti dari warga Desa, Calon Kepala Desa akan mendekatinya dengan menjalin silaturahmi dengan tokoh – tokoh masyarakat Desa seperti tokoh agama, kalangan pemuda-pemudi dan kerabat – kerabatnya. Upanya calon kepala desa tersebut dibarengi dengan janji – janji yang nantinya setelah terpilih menjadi Kepala Desa, maka harus merealisasikannya.
Calon kepala desa mendekati para ulama untuk mendapatkan dukungan agar terpilih menjadi kepala desa, karena para ulama mempunyai pengaruh besar terhadap warga desa. Selain itu, Calon Kepala Desa juga me – lobby dari pemuda karang taruna desa dengan cara menjanjikan fasilitas yang mendukung pembangunan karang taruna. Karang taruna merupakan wadah organisasi pemuda/i, sehingga Calon Kepala desa dapat memperoleh dukungan dari kaum pemuda/i di desa tersebut.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana hubungan antara aktor yang terlibat dalam pemilihan Kepala Desa di suatu daerah???
2.      Bagaimana dinamika PILKADES di era otonomi daerah/desa????
C.    Tujuan
1.      Untuk memetakan pola hubungandari aktor – aktor yang terlibat dalam pemilihan kepala desa
2.      Untuk mengetahui dinamika pilkades di era otonomi daerah/desa.
                                                 PEMBAHASAN
1.    Makna dan sistem pemilihan umum
Pemilihan umum ( general election) dapat didefinisakan sebagai proses politik dimana warga negara yang sudah memiliki hak menyalurkan suaranya untuk memilih orang – orang tertentu yang akan duduk mewakili mereka di lembaga perwakilan, baik itu lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Orang – orang inilah yang terpilih melalui pemilihan umum inilah yang menjalankan roda pemerintahan perwakilan. Pemilu, hak pilih atau hak memilih warga negara, dan lembaga perwakilan merupakan sebagian dari ciri –ciri sistem pemerintah demokrasi.
Pemilu umum merupakan fenomena politik yang bisa dijelaskan dari dimensi sistem, kontestasi, proses, nilai dan norma, dan metode tertentu. Pemilihan umum bersifat universal karena diterapkan di semua negara yang menggunakan demokrasi sebagai bentuk pemerintahannya. Tetapi, muatan dimensi sistem, kontestasi, proses, metode, prosedur, nilai dan norma penyelenggara pemilihan umum itu sendiri bisa berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya.
Dilihat dari sistemnya, dikenal dua sistem pemilihan umum, yakni: single member electronal system dan proportional representation electronal system. Dalam pola single – member electronal system, wilayah negara dibagi ke dalam banyak daerah pemilihan. Hanya satu wakil dapat dari setiap daerah pemilihan, sedangkan dalam pola proportional representation electronal system, wilayah negara juga dibagi ke dalam banyak daerah pemilihan.
Dilihat dari dimensi konstentasinya, pemilihan umum bisa diikuti individu dan partai politik. Meskipun individu diperkrnankan menjadi kontestan pemilihan umum. Tetapi kebanyakan negara – negara demokrasi mensyaratkan keberadaan partai politik sebagai kendaraan wara negara menduduki jabatan – jabatan politik yang dipilih melalui pemilihan umum.
dilihat dari prosesnya, pemilihan umum terdiri atas tahapan – tahapan tertentu yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Di Indonesia sebagai contoh, pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD Daerah dilaksanakan melalui beberapa tahapan yakni: pemuktakhiran data pemilihan dan penyusunan daftar pemilih. Pendaftaraan peserta pemilu, penetapan proses pemilu, penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan, pencalonan, kampanye, masa tenang, pemungutan dan pehitungan suara, penetapan hasil pemilu, dan pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yan terpilih (pasal 4 ayat 2 UU No.10 Tahun 2008).
Dilihat nilai dan normanya, pemilihan umum diselenggarakan dengan berpedoman kepada seperangkat nilai dan norma tertentu. Sebagai contoh,, pemilu anggota DPR, DPRD, DPD wajib dilaksanakan secara efektif dan efesien berdasarkan asas langsung, umum bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dilihat dari metodenya, pemilihan umum mempunyai banyak sub-metode. Misaalnya, bagaimana metode mentransformasikan suara menjadi kursi, bagaimana metode pencoblosan suara (dicoblos, docontreng, dipilih mellui komputer, atau menggunakan e-voting), bagaimana metode kampanyenya, bagaimana metode pencalonan kontestan pemilu, dan lai sebagainya.
2.    Perilaku pemilihan dan kandidat
Pemilih dan kandidat merupakan subyek dalam pemilihan umum. Keduanya mempresentasikan warga negara yang memiliki hak konstitutional untuk dipilih dan memilih. Perbedaan keduanya terletak pada pelaksanaan hak konstitutional ini. Jika para pemilih merealisasikan hak memilihnya, maka kandidat (baik yang mencalonkan diri melalui jalur perseorangan dan/atau melalui jalur partai politik) merealisasikan hak untuk dipilih.
Perbedaan antara pemilih dan kandidat bisa dijelaskan mellui aspek perilaku. Yang dimaksud aspek perilaku daei sisi pemilih adalah respon fisik, psikis, dab sosial yang diberikan kepada pemilih akibat kehadiran stimulus dari dalam dan luar dirinya yang mempengaruhi pilihan akhirnya dalam proses pemilihan umum. Sedangkan dari sisi kandidat, aspek perilaku merujuk kepada serangkaian respon fisik, psikis dansosial yang diberikan kandidat untuk memppengaruhi keputusan akhir para pemilih dalam pemilihan umum. Dalam pemilihan umum, apapun sistem dan metodenya, keputusan akhir para pemilih berada dua spektrum pilihan, yakni: memilih dan/atau tidak memilih.
Menurut Adam, Merrill III, dan Grofnan (2005), ada tiga sudut pandang yang bisa digunakan ilmuwan politik untuk memahami perilaku pemilih, yakni:
a.    model  spatital (para pemilih termptivasi akibat serangkaian kebijakan yang ditawarkan, sedangkan, dan/atau dijalankan kandidat).
b.    model behavioral, (keputusan para pemilih tidak hanya dipengaruhi faktor kebijakan tetapi dipengaruhi juga oleh faktor indentifikasi partai politik, karakteristik sosio-demografis, persepsi pemilih terhadap kondisi ekonomi, evaluasi retrospektif pemilih terhadap kinerja incumbent) dan
c.    model party competition (perilaku pemilih dipengaruhi faktor loyalitas kepada partai politik, kemampuan pemilih menganalisis program – program yang ditawarkan kandidat, dan persepsi bahwa tidak ada kontestan pemilihan umum yang efektif. 
3.    Otonomi Daerah/Desa
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.  
 Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Pengertian tentang otonomi desa adalah ciptaan bangsa Belanda waktu mereka masih memegang kekuasaan di sini, selanjutnya dikatakan pula, bahwa hak otonomi atau hak mengatur dan mengurus rumah tangga desa sebagai daerah hukum yang diatur dalam hukum adat adalah kewenangan dan kewajiban tiada hanya yang bersangkutan dengan kepentingan keduniawian, akan tetapi juga yang bersangkutan dengan kepentingan kerohanian. Tidak hanya yang berkenaan dengan pemerintah (kenegaraan) akan tetapi juga yang berkenaan dengan kepentingan penduduk perseorang. Teranglah bahwa isi otonomi desa menurut hukum adat adalah sangat luas (Kartohadikoesoemo, 1973: 12)
Dengan demikian, otonomi yang dimiliki desa adalah otonomi asliyaitu otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat, sehingga dalam kenyataannya pasti akan timbul berbagai keanekaragaman, baik dari segi nama, susunan pemerintahan, maupun bentuk-bentukan geografisnya. Tegasnya, terdapat keadaan-keadaan khusus yang berbeda satu dengan yang lainnyaKeadaan tersebut sebenarnya prinsip-prinsip Kebhinekaan” itu ada dan berkembang secara nyata dalam masyarakat, sehingga secara riil hak-hak, asal-usul, istiadat ini harus dihormati sebagai modal pembangunan desa. Hal ini terjadi, apabila semboyan demokrasi, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of, by, and for the people), itu dihargai dan ditegakkan. Demokrasi yang terjadi di desa adalah grass-roots democracyRakyat merupakan kekuatan-kekuatan yang berasal dari bawah yang akan menjadi pembaharuan (autonomous energiesuntuk menuju suatu keadaan atau kondisi yang lebih baik.
Keberhasilan pelaksanaan pemilihan kepala desa tidak terlepas dari adanya partisipasi aktif anggota masyarakatnya. Masyarakat desa, baik sebagai kesatuan sistem maupun sebagai individu merupakan bagian integral yang sangat penting dari sistem pemerintahan desa. Secara prinsip, pelaksanaan pemilihan kepala desa ditujukan guna mewujudkan kedaulatan rakyat di desa yang bersangkutan. Keadaan tersebut menimbulkan tanggung jawab penyelengaraan pemerintahan desa tidak saja di tangan kepala desa, BPD dan aparat pelaksananya, tetapi juga di tangan masyarakat desa tersebut.
Salah satu wujud dari rasa tanggung jawab masyarakat di atas adalah adanya sikap mendukung terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa yang antara lain ditunjukkan melalui partisipasi aktif anggota masyarakat dalam memilih kepala desa. Disamping itu partisipasi masyarakat juga merupakan pemenuhan terhadap etika politik yang menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan dan kedaulatan.
Demokrasi desa sebagaimana dikatakan oleh Hatta mengandung tiga ciri, yakni: rapat (tempat rakyat bermusyawarah dan bermufakat), hak rakyat untuk mengadakan protes, dan cita-cita tolong menolong (dalam Suhartono, 2001:26)
Menurut H.A.W Widjaja dalam bukunya “Pemerintahan Desa/Marga berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999” tentang Pemerintahan Daerah mengatakan bahwa Kepala desa dipilih langsung oleh Penduduk desa dari calon yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan dan pemilihan.
4.    Hubungan Antara Aktor Yang Terlibat Dalam Pemilihan Kepala Desa
Calon Kepala Desa harus bisa menjalin hubungan kerja sama yang baik dengan basis massa, sehingga basis massa akan mendukung calon kepala desa tersebut yang akhirnya akan terpilih menjadi Kepala Desa. Hubungan yang terjalin antara aktor-aktor yang terlibat dalam pemilihan kepala desa tidak dapat dilepaskan dari pengaruh jaringan sosial yang selama ini berlangsung di Desa tersebut.
Hubungan sosial yang dijalin antara seseorang dengan sejumlah warga masyarakat lainnya mempunyai tingkat keeratan dan keseringan yang bervariasi. Dengan demikian, ada sejumlah individu yang memiliki hubungan-hubungan sosial yang erat dan kerap dengan seseorang. Ada pula sejumlah orang lainnya yang jarang mengadakan interaksi sosial dengan orang tertentu, sehingga hubungan sosialnya tidak erat. Selain itu, terdapat pula sejumlah orang yang tidak mempunyai hubungan sosial dengan individu-individu tertentu.
Menurut Sartono Kartodirdjo, ciri khas dari sejumlah komunitas kecil seperti desa adalah adanya ikatan komunal yang cukup kuat. Kekuatan komunal itu terutama terwujud dalam suatu kelompok sosial yang berupa kehidupan bertetangga dekat, serta dalam kegiatan-kegiatan yang berdasarkan etos paguyuban. Kegiatan itu misalnya berupa sumbangan, slametanjagongan (pesta kenduri) dan sebagainya (Kartodirdjo, 1987: 82).
Pada dasarnya hubungan yang terjadi antara Calon Kepala Desa dengan basis massa itu karena adanya hubungan kekerabatan, dimana adanya hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah. Menurut Ferdinand Tonnies hubungan kekerabatan ini berupa paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesellschaft) (Dalam Soekanto, 1999: 144).
Paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Kehidupan tersebut dinamakan juga bersifat nyata dan organis. Bentuk paguyuban terutama akan dapat dijumpai di dalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun tetangga dan lain sebagainya.
Sebaliknya, patembayan (gesellschaft) merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu bentuk dalam fikiran belaka (imaginary) serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Bentuk gesellschaft terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal balik, misalnya ikatan antara pedagang, organisasi dalam suatu pabrik atau industri dan lain sebagainya.
Menurut Tonnies, paguyuban (gemeinschaft) mempunyai beberapa ciri pokok, yaitu:
a.       intimate, yakni hubungan menyeluruh yang mesra
b.       private, yakni hubungan yang bersifat pribadi, yaitu khusus untuk beberapa orang saja
c.       exclusive, yakni hubungan tersebut hanyalah untuk “kita” saja dan tidak untuk orang-orang lain di luar “kita”.
Di dalam gemeinschaft atau paguyuban terdapat suatu kemauan bersama (common will), ada suatu pengertian (understanding) serta juga kaidah-kaidah yang timbul dengan sendirinya dari kelompok tersebut.
Menurut Tonnies, di dalam setiap masyarakat selalu dijumpai salah satu diantara tiga tipe paguyuban, yaitu:
a. paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood), yaitu gemeinschaft atau paguyuban yang merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan, contoh: keluarga, kelompok kekerabatan.
b. paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu suatu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggal, sehingga dapat saling tolong-menolong, contoh: Rukun Tetangga, Rukun Warga, arisan.
c. paguyuban karena jiwa-pikiran (gemeinschaft of mind), yang merupakan suatu gemeinschaft yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tak mempunyai hubungan darah ataupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, akan tetapi mereka mempunyai jiwa dan fikiran yang sama. Paguyuban semacam ini biasanya ikatannya tidaklah sekuat paguyuban karena darah atau keturunan.
Hubungan kekerabatan yng terjadi di suatu Desa dapat dipengaruhi atas dasar :
a) Persahabatan
Persahabatan di sini diartikan sebagai teman sejawat, sepermainan dan semasa bertemu di pendidikan sekolah. Seorang teman yang dahulu pernah akrab dan dekat tentunya akan mendukung sahabatnya yang menjadi calon kepala desa. Secara otomatis tidak harus dipengaruhi oleh calon kepala desa tersebut. Teman atau sahabat itu akan mendukungnya untuk terpilih menjadi Kepala Desa, karena menurut hasil wawancara teman tersebut mengetahui sifat, sikap dan karakter-karakter sesungguhnya dari calon kepala desa. Di sini ditegaskan sesuai dengan sumber yang dipercaya bahwa teman atau sahabat yang mendukung calon kepala desa tersebut tidak memihak kepada calon kepala desa lain, sehingga hubungan politik yang tentang “kawan bisa jadi lawan dan lawan bisa jadi kawan” tidak berlaku walaupun tergantung dari kepentingannya. Pada prakteknya seorang calon kepala desa atau kadernya tidak akan mendatangi anggota masyarakat yang sudah menjadi kader calon kepala desa lainnya. Namun dalam upaya meraih dukungan suara yang lebih besar, seorang calon kepala desa atau kadernya akan mendatangi anggota masyarakat yang berpotensial dalam memberikan suara.
b) Persaudaraan
Persaudaraan di sini diartikan karena adanya hubungan famili baik famili jauh maupun dekat, dimana calon kepala desa akan mendekati saudara-saudaranya dengan bertandang ke rumah/silaturrahmi untuk mendukung calon kepala desa tersebut, sehingga terpilih menjadi Kepala Desa. Sebagai wujud kepedulian dan menjunjung tinggi nilai persaudaraan, maka secara otomatis akan mendukung saudaranya untuk terpilih menjadi Kepala Desa.
c) Ketetanggaan (lokalitas)
Secara geografis, wilayah suatu Desa terbagi ke dalam beberapa dusun yang dipimpin oleh kepala dusun. Seluruh penduduk Desavdikelompokkan lagi ke dalam sebuah Rukun Warga (RW) dan  Rukun Tetangga (RT). setiap wilayah RT dipimpin oleh seorang ketua RT. Seorang ketua RT dapat dikatakan merupakan “pejabat” tingkat terbawah dari pemerintahan desa, yang berhubungan langsung dengan rakyat.
Pada umumnya seorang RT adalah orang yang dipandang menonjol kebaktiannya kepada masyarakat setempat. Ia biasanya seorang guru atau keturunan pemuka daerah setempat. Jabatan ketua RW biasanya juga dipegang oleh seorang guru.
Dalam kesatuan RT inilah suasana hidup bertetangga sangat terasa. Sehari-hari mau tidak mau akan sering bertemu, bertatap muka dan bertegur sapa secara langsung. Sebagai akibatnya setiap hari berbagai informasi tersebar dari mulut ke mulut dengan cepat. Dalam suasana kehidupan bertetangga semacam inilah segala sifat, sikap dan karakter-karakter pribadi akan tampak dan terasa dalam pertemuan-pertemuan atau kontak-kontak yang terjadi antar warga. Misalnya dalam kegiatan saling berkunjung (bertamu), sambat sinambat (saling meminta pertolongan yaitu suatu cara meminta bantuan yang dilakukan menurut tata cara dan sopan santun tertentu, yakni dengan cara mendatangi seorang tetangga serta menyatakan keinginan untuk memohon bantuan), jagong manten (resepsi pernikahan), mitoni (upacara tujuh bulan kandungan untuk anak pertama, biasanya dengan membuat makanan yang disebut ngrujak/makanan bermacam-macam buah yang dicampur dengan bumbu dan ada kuahnya), tetulung layat (tolong menolong dalam peristiwa kematian), arisan dan lain-lainnya. Hal-hal seperti ini dapat berlangsung karena suatu rumah tangga di Jawa terutama harus menjalin suatu hubungan yang baik dengan para tetangganya.
Seorang ketua RT pada umumnya mengetahui dan memahami secara mendalam keadaan dari setiap warga RT-nya. Hal itu dapat terjadi karena ia sering memimpin pertemuan-pertemuan, diundang warganya untuk memberikan sambutan pada suatu acara, atau menyelesaikan pertikaian-pertikaian yang tidak jarang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena seorang ketua RT atau ketua RW biasanya secara ekonomis cukup mampu, maka tidak jarang banyak warga di sekitarnya bertamu ke rumah mereka.
Calon kepala desa akan berusaha menjalin hubungan yang baik dengan ketua RT maupun ketua RW, karena dari ketua RT dan ketua RW inilah warga desa akan menurut. Di samping itu, tetangga-tetangga dari calon kepala desa tertentu juga akan memberikan dukungan kepada calon kepala desa tersebut dengan alasan dapat mempermudah memberikan pelayanan dan juga sudah mengetahui segala sifat, sikap dan karakter-karakter pribadinya melalui kehidupan sehari-hari.
5.    Hubungan  Calon Kepala Desa Dengan Basis Massa Dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa
Seorang calon kepala desa menjalin hubungan dengan basis massanya yaitu atas dasar hubungan pertemanan dan ketetanggaan, persaudaraan, baik saudara dekat maupun saudara jauh. Saudara – saudaranya akan memberikan dukungan supaya terpilih menjadi kepala desa. Dengan adanya saudara yang terpilih menjadi kepala desa maka akan memperoleh kemudahan – kemudahan. 
6.    Dinamika pemilihan Kepala Desa di Tinjau dari Konflik
Pelaksanaan Kepala Desa di suatu daerah melibatkan beberapa calon Kepala Desa yang mempunyai berbagai macam basis massa di dusun. Semua Calon kepala Desa berkompetisi dengan mencari dukungan dari warga desa sebanyak – banyaknya demi mencapai tujuan yaitu menjadi nomor satu di desa tersebut.
Calon Kepala Desa melakukan berbagai macam cara atau strategi untuk mendapatkan dukungan dari warganya  yaitu seperti:
a.    Mendekati tokoh – tokoh masyarakat desa, karena tokoh – tokoh tersebut adalah tokoh – tokoh yang berpengaruh di dalam masyarakat.
b.    Mendekati basis, yag terdiri dari sejumlah kader. Karena di suatu desa itu memiliki berbagai basis yang memiliki banyak kader.
c.    Melakukan dudah ngamal, yaitu mengungkapkan yang baik yang pernah dibuat calon kepala desa semasa jabatannya.
d.   Membangun hubungan dengan warga desa dengan cara silaturahmi. Calon kepala desa menyediakan waktu dan rumahnya untuk menjamu tamu yang berkunjung ke tempat tinggalnya.
e.    Membagi – bagikan uang (baik milik pribadi maupun bantuan dari orang lain) untuk membeli suara atau mendapatkan keuntungan politis.
Praktek money politics adalah hal yang lumrah dalam pelaksanaan strategi persaingan antara calon kepala desa yang bertarung dalam pemilihan kepala desa. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan dan dianggap suatu kewajaran dalam pemilihan untuk mencari dukungan maka tidaklah menguatkan calon kepala desa tersebut. Praktek money politics tersebut dilakukan baik dari calon kepala desa maupun pendukung (kader). Mayoritas besar uang yang dibagikan kepada warga desa adalah Rp 200.000,-/orang. Pembagian uang tersebut dilakukan pada malam menjelang hari pencoblosan.
Pada proses demokrasi level akar rumput (grassroot) ini praktik money politics tumbuh subur. Karena dianggap suatu kewajaran, masyarakat tidak lagi peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya, karena tidak merasa bahwa money politics secara normatif harus dijauhi. Segalanya berjalan dengan wajar. Kendati jelas terjadi money politics, dan hal itu diakui oleh kalangan masyarakat, namun tidak ada protes.
Di sini kita bisa melihat betapa money politics telah mendarah daging di masyarakat pada tingkat akar rumput (grassroot) sampai tingkat elit. Perbedaannya, pada tingkat akar rumput, praktik tersebut lebih transparan dan tidak menjadi persoalan yang sensitif. Sedangkan pada tingkat yang lebih tinggi, praktik money politics lebih tertutup dan menjadi hal yang sangat sensitif. Kecuali masyarakat yang telah terbiasa dengan praktik money politics sehingga daya kritis mereka cenderung berkurang.
Praktik money politics ini sebenarnya melanggar nilai-nilai demokrasi khususnya nilai keadilan, karena calon kepala desa yang murni tidak menggunakan money politics akan sedikit dalam memperoleh dukungan. Di samping itu, praktik money politics melanggar aturan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Hal ini dapat terlihat adanya penggunaan paksaan kepada warga desa untuk memilih calon kepala desa tertentu untuk melaksanakan money politics tersebut.
Uang dalam pemilihan kepala desa disumbangkan untuk biaya perbaikan jalan, membeli alat olahraga, dan sebagainya. Pemberian sumbangan dalam rangka kampanye semacam itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa calon kepala desa memberikan perhatian dan bersedia berbuat untuk kepentingan publik (kelompok pemuda, penduduk desa, dan seterusnya). Di kalangan masyarakat Desa cara itu mempunyai pengaruhnya kepada pertimbangan warga desa tentang siapa yang akan dipilihnya. Kecuali yang sudah jelas ada hubungan kekerabatan dengan calon kepala desa, mereka akan menerima uang tersebut, tetapi dalam pencoblosan berbeda.
Dalam permainan politik uang, seorang calon kepala desa beserta tim suksesnya harus menguasai benar kondisi di lapangan. Pertimbangan hati-hati ini dilakukan oleh para calon agar uang yang tersedia diberikan kepada orang yang tepat sasarannya. Kalau penggunaan uang tidak hati-hati bukan hanya salah sasaran berakibat uang hilang percuma, tetapi sangat beresiko apabila informasi jatuh kepada mereka yang tidak dapat dipercaya.
Selain itu, ternyata pemberian uang tidak pula selalu dilakukan oleh para calon kepala desa. Pemberian uang dapat dilakukan melalui perantara orang lain termasuk teman akrab, keluarga, hubungan bisnis dan seterusnya.
Berikut adalah akan dibahas sistem pemberian uang bagi Calon Kepala Desa yang terlibat dengan politik uang.
a.    Melalui Tim Sukses Calon Kepala Desa
Para bakal calon kepala desa dikelilingi oleh orang-orang yang berasal dari latar belakang berbeda. Ada yang menguasai bidang administrasi yang bertanggung jawab terhadap berbagai keperluan administrasi sang bakal calon kepala desa. Ada pula yang bertugas menyiapkan visi dan misi beserta berbagai kelengkapan yang terkait dengan itu. Ada pula tim yang terkait dengan masalah-masalah spiritual. Artinya tim ini bertanggung jawab khusus untuk bidang gaib, termasuk menggunakan jasa paranormal kalau tidak layak disebut dukun.
Selain berbagai tim dengan spesialisasi masing-masing tersebut, terdapat orang dekat yang mengurusi masalah dana. Karena persoalan dana ini termasuk sensitif dan rahasia, maka tidak sembarangan orang mampu menembus informasi ini. Digunakan orang tertentu dan dapat dipercaya. Dalam praktek politik uang, melalui tangan-tangan inilah uang disampaikan kepada mereka yang berhak menerimanya.
b.      Melalui Orang Terdekat
Tidak selamanya tim sukses yang berada di sekeliling bakal calon kepala desa mampu menembus sasaran yang hendak diberikan dana. Dalam praktek politik uang berbagai cara dilakukan. Latar belakang orang-orang yang dianggap berpengaruh dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa kemudian dipelajari secara seksama. Misalnya, dicari informasi akurat tentang siapa keluarganya, dari mana ia berasal, kepada siapa ia berhubungan dekat, siapa saja yang mungkin mampu mempengaruhinya.
Apabila data yang diperlukan mampu didapat kemudian diputuskan siapa yang akan melakukan pendekatan. Misalnya orang tersebut sangat dekat seorang pengusaha desa itu. Jadi digunakan cara pendekatan melalui penguaha tersebut, termasuk menyampaikan uang yang disepakati.
c.    Pemberian Langsung Oleh Calon Kepala Desa
Tidak menutup kemungkinan sang bakal calon kepala desa mengadakan pendekatan langsung. Sangat mungkin bakal calon kepala desa terlibat langsung dalam penyampaian sejumlah dana untuk kepentingan pemilihan. Biasanya misi ini dilakukan secara rahasia oleh calon kepala desa. Operasi ini dapat dilakukan di pagi hari atau pada malam hari, tergantung kesepakatan atau dengan cara mendatangi rumah secara mendadak.
Memelihara calon pemilih yang sudah diperoleh dukungannya dan merebut calon pemilih pendukung calon kepala desa lawan dilakukan sampai menjelang hari pencoblosan. Pemeliharaan calon pemilih pendukung dan upaya pencegahan perebutan oleh kader calon kepala desa lawan dilakukan pada hari pencoblosan. Hal itu dilakukan dengan cara di jalan menuju ke TPS diberi aba-aba agar jangan lupa tanda gambar pilihannya.
Pelaksanaan kampanye oleh kelompok pemuda, tokoh masyarakat dalam mendukung calon kepala desa dukungannya diselenggarakan secara terorganisasi. Langkah langkah berikut ditempuh, yaitu :
1) Menuyusun “peta” kampanye: Hal itu antara lain dilakukan dengan menetapkan dusun-dusun mana yang tergolong pendukung dan dusun-dusun lawan (musuh), mengidentifikasikan tokoh aras dusun dan tokoh masyarakat yang dianggap berpengaruh terhadap massa/warga desa, dan mengidentifikasikan dusun-dusun yang mana memerlukan perlakuan khusus dan dusun-dusn yang mana tidak memerlukan perlakuan khusus.
2) Mengidentifikasikan anggota-anggota masyarakat di dusun yang mendukung, tidak mendukung, atau netral (ngambang), dan anggota-anggota masyarakat pendukung calon kepala desa lawan yang dapat ditarik/dialihkan menjadi pendukung calon kepala desa yang didukung.
3) Menarik pendukung calon kepala desa lawan: Hal itu antara lain dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: Meminta secara ramah (kekeluargaan) dan baik-baik (tahap pertama); Kalau upaya tersebut tidak berhasil, maka tokoh masyarakat atau tokoh agama yang berpengaruh terhadap para pendukung calon kepala desa lawan diminta agar mempengaruhi pendukung calon kepala desa lawan itu; Kalau upaya lewat tokoh-tokoh itupun gagal, kepada pendukung calon kepala desa lawan itu diberi imbalan (uang atau lainnya); dan akhirnya kalaupun pemberian imbalan gagal, diterapkan ancaman atau cara kekerasan.
4) Menetapkan dusun target (“pengambilan dusun target”): Yang dimaksudkan adalah menetapkan dusun-dusun yang menjadi “lokasi pijakan kemenangan” (yang harus dimenagkan) dan dusun-dusun yang ditinggalkan (yang pasti kalah), yaitu dusun-dusun tempat bermukimnya massa pendukung calon kepala desa lawan. Ini diterapkan demi mencapai efektifitas kampanye. Dusun-dusun yang diproyeksikan menang (“dusun target”) dipenuhi aspirasinya (misalnya: dengan merealisasikan pembangunan fisik di dusun pada masa kampanye ataupu realisasinya dilakukan sesudah menjadi kepala desa).
5) Merekrut tokoh-tokoh penting; Ini dilakukan jauh hari sebelum pencoblosan (tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat).
6) Membatasi ruang gerak pihak lawan: Untuk membatasi ruang gerak pihak lawan (kegiatan para kader calon kepala desa lawan) diterapkan cara-cara tertentu baik cara yang menaati norma-norma yang berlaku ataupun pula cara-cara yang melanggar norma-norma demokrasi dan norma-norma sosial lainnya. Atau menciptakan rasa khawatir dalam masyarakat bahwa apabila calon kepala desa yang didukung .
Dilihat dari segi budaya, persaingan dalam pemilihan kepala desa merupakan proses politik perdesaan, dimana calon kepala desa akan menggunakan berbagai cara untuk terpilih menjadi Kepala Desa. Cara tersebut ada yang demokratis dan ada yang tidak demokratis.
KESIMPULAN 
Hubungan antara aktor yang terlibat dalam pemilihan kepala desa di suatu daerah adalah hubungan kekerabatan, dimana dalam hubungan tersebut dipengaruhi oleh faktor pertemanan, persaudaraan dan ketetanggaan.
Dinamika pemilihan kepala desa disuatu daerah ditinjau dari konflik yang berlangsung selama pemilihan Kepala Desa adalah kurang demokratis, karena hal tersebut terjadi ada indikasi money politics dan adanya penggunaan – penggunaan lain yang sifatnya supranatural.
Studi Kasus
Pilkades Berbuntut Saling Lapor
Di tengah hingar bingarnya pesta demokrasi pemilihan Kepala Desa (pilkades) yang di gelar selama serentak pada 28 Maret mendatang ternyata turut diwarnai dengan aksi saling lapor ke Kepolisian. Tahapan pilkades yang seharusnya dijadikan ajang memilih pemimpin desa turut ditarik ke arah pidana.
Aksi saling lapor itu seperti yang terjadi dalam tahapan pilkades Gesengan, Kecamatan Cluwak.
Tahapan pilkades yang awalnya adem tiba – tiba memanas saat salah seorang bakal calon, suyanto dinyatakan tidk lolos dalam tahapan penetapan calon kepala desa.
Terkait alasannya, keabsahan ijazah suyanto dinilai diragukan. Hal itu terjadi menyusul kepala sekolah dasar (SD) Gesengan menarik legalisir yang diberikan syarat untuk mendaftarkan diri sebagai calon kades.
Saat dimintai keterangan, Eko Samsin, kepala SD Gesengan 1 kala itu menyatakan, pihaknya melakukan aksi pencabutan legalisir tersebut pasca diperiksa polres Pati.
Dirinya dilatakan melanggar dua pasal dengan ancaman tujuh tahun. Karena rasa takut dan meyakini cara terbaik untuk keselamatannya, legalisir tersebut akhirnya dicabut.
DAFTAR PUSTAKA 
Buku:
Adams, James F., Merrill III, Samuel., dan Grofman, Bernard., 2005. A Unified Theory of Party Competition: A Cross-National Analysis Integrating Spatial and Behavioral Factors. Cambridges, Cambridges University Press.
Liddle, R. William., & Mujani, Saiful., 2007. Leadership, Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia, dalam Comparative Political Studies, Vol. 40, No. 7, hal. 832-857
Rodee, et.al., Carlton Clymer., 1983. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Thomassen, Jacques., (eds.), 2005. The European Voter: A Comparative Study of Modern Democracies. New York, Oxford University Press.
Budiardjo, Miriam. 1982. Masalah Kenegaraan. Jakarta: PT Gramedia
Dahl, Robert. 1971. Polyarchy: Participation and Opposition. Yale University Press, New Haven.
Ismawan, Indra. 1999. Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu. Yogyakarta: Media Pressindo
Kana. 2001. Perubahan Di dalam Dinamika Poltik Lokal Pedesaan. Salatiga: Pustaka Percik
Kartodirdjo, Sartono. 1987. Pesta Demokrasi di Pedesaan
Kartohadikoesoemo, Sutardjo. 1953. Desa. Yogyakarta
Rifai, Amzulian. 2003. Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia
Suhartono, dkk. 2001. Politik Lokal (Parlemen Desa: Awal Kemerdekaan sampai Jaman Otonomi Daerah). Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama
Widjaja, HAW. 2002. Pemerintahan Desa/Marga Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
                    , 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat Dan Utuh. Jakarta: Raja Grafindo Persada